YANG BERTAMU

KALENDER HIJRIYAH

Minggu, 19 Juli 2009

"MEMETIK HIKMAH DI BALIK PERISTIWA “ISRA’ DAN MI’RAJ”


Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya untuk kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1).

Muqaddimah

Sebelum kita buka diskusi dalam tulisan ini, penulis ingin ungkapkan terlebih dahulu kalimat pembuka: ‘tiada fenomena yang lepas begitu saja, semua terikat dengan jaringan makna pasti ada hikmahnya‘. Ungkapan ini penulis sampaikan, karena kita akan mendiskusikan peristiwa yang besar dan luar biasa dalam sejarah Islam yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Dari peristiwa agung ini ada banyak hikmah (baik secara vertikal maupun horizontal) yang perlu kita petik kemudian kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai peristiwa luar biasa yang tak bisa ditangkap oleh indera, orang-orang Mekkah saat itu tidak mempercayainya. Bahkan tidak sedikit yang mengingkarinya dengan menyudutkan Nabi Muhammad saw sebagai pembohong dan orang yang suka berhalusinasi. Akankah kita termasuk orang yang percaya atau yang ingkar? Pilihan ada di tangan masing-masing kita. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama selami lautan peristiwa di balik Isra’ dan Mi’raj dengan ilmu dan mengharap ridha Allah s.w.t.

Mabâhits

Surat al Isra’ ayat pertama adalah ayat yang berbicara tentang kebesaran Allah s.w.t dalam memberikan mu’jizat bagi rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. karena keagungan itulah maka Allah s.w.t memulai firman-Nya dengan tasbih – ubhâna – (Maha Suci) yang bertujuan supaya setiap orang yang beriman menghilangkan keragu-raguan terkait hal yang diberitakan Allah s.w.t. Merupakan satu hal yang wajar bahwa dalam setiap peristiwa besar yang tidak masuk di akal manusia akan menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan. Apalagi kalau peristiwa itu tidak disandarkan dan dikaitkan dengan Allah s.w.t Yang Maha Berkehendak, apa jadinya diri kita dihadapan Allah s.w.t? Untuk menhindarkan diri dari keraguan itu, maka Allah s.w.t menisbahkan kesucian itu terhadap Allah s.w.t yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha. Begitulah yang telah diungkapkan ustadzpenulis dalam sebuah diskusi kepada penulis.

Dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, banyak perdebatan yang timbul di kalangan kaum muslimin. Apakah nabi Muhammad s.a.w melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruhnya saja? Apakah dengan ruh dan jasadnya sekaligus? Ataukah dalam mimpi saja? Pertanyaan ini sering memunculkan jawaban yang beraneka-ragam sesuai dengan pendekatan masing-masing penafsir. Sebagian kalangan rasionalis seperti Imam al-Zamakhsyari, menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj hanyalah terjadi dengan ruhnya saja. Hal itu didasarkan pada pernyataan A’isyah r.a. ia bersumpah demi Allah tidak kehilangan jasad Rasulullah s.a.w. dan bahwa Nabi Mi’raj dengan ruhnya. Demikian juga pernyataan Mu’awiyah (al-Zamakhsyari, 2006: 623). Sedangkan menurut al-Hasan, peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu terjadi hanya dalam mimpi (fî al-manâm). Adapun mayoritas mufassir (jumhûr) menyatakan bahwa peristiwa agung itu terjadi di alam sadar (fi al-yaqzhân) bukan dalam tidur (fî al-manâm) dan dengan ruh dan jasad Nabi s.a.w sekaligus. Pernyataan ini didukung oleh Abdurrahman al-Sa’di dalam tafsirnya (al-Sa’di, 2003: 428).

Bermacam-macam interpretasi (penafsiran) di kalangan mufassir perihal Isra’ dan Mi’raj sungguh membingungkan kalangan awam umat Islam. Menurut Ust. Supriyanto Pasir, setidaknya ada tiga pendekatan dalam memahami peristiwa Isra’ dan Mi’raj, jika khilafiyah itu dikembalikan kepada ayat Alqur’an itu sendiri, yaitu pendekatan ke-bahasa-an, pendekatan ke-sejarah-an dan pendekatan ke-iman-an. Dengan tiga pendekatan ini kita akan mampu memunculkan pemahaman yang komprehensif.

Pertama, pendekatan ke-bahasa-an (lughatan), jika kita perhatikan dengan seksama, Allah s.w.t memulainya firman-Nya dengansubhâna. Hal ini akan menjadi sebuah indikasi bahwa apa yang akan dikatakannya kemungkinan akan mengagetkan manusia karena merupakan suatu peristiwa yang luar biasa. Yaitu diperjalankannya Nabi Muhammad s.a.w hanya di sebagian malam dengan jarak yang jauh, kemudian naik menembus langit ke tujuh, Sidrah al-Muntaha dan hingga al-Mustawa. Penyebutan kata lailan dengan bentuk nakirah adalah memiliki arti menyedikitkan masa perjalanan al-Isra’ (taqlîl muddati al-isrâ’) sehingga dapat ditafsirkan dengan kata min al-lail (al-Baidhawi, 2003: 563) di mana min di sini berfungsi sebagai li al-tab’îdh (untuk menunjukkan jarak yang jauh). Selanjutnya, kata ‘abdun dalam kalimat bi ‘abdihi, dalam bahasa Arab adalah menunjuk kepada seseorang yang terdiri dari jasad dan ruh. Karena jasad tanpa ruh adalah mayyitun dan ruh tanpa jasad juga tidak bisa disebut ‘abdun, dalam pengertian yang sesungguhnya.

Kedua, pendekatan ke-sejarah-an (târikhiyyah). Pada bagian ini penting untuk mengkritisi dua (kejanggalan) pernyataan dari ‘Aisyah r.a dan Mu’awiyah r.a. Kejanggalan pertama, terkait dengan pernyataan ‘Aisyah, bahwa ia tidak kehilangan jasad Nabi s.a.w di malam Isra’ dan Mi’raj. Hal ini janggal sekali jika peristiwa itu terjadi satu tahun sebelum hijrah. Mengapa? Karena ‘Aisyah baru berkumpul dengan Nabi Muhammad s.a.w. dan tinggal serumah dengannya adalah saat setelah hijrah ke Madinah, maka pernyataan ini diragukan kebenarannya. Kejanggalan kedua, terkait dengan Mu’awiyah, saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj dia masih belum masuk Islam, dia baru ber-Islam saat terjadi Fathu Makkah. Apa yang ia sampaikan hanyalah berdasar kepada logikanya saja.

Ketiga, pendekatan ke-iman-an (al-imân). Peristiwa Isra’ dan Mi’raj pertama kali dibenarkan oleh Abu Bakar tanpa melalui proses berpikir panjang jika sumbernya adalah Nabi Muhammad s.a.w. hingga ia digelari dengan as-shiddiq. Disini yang perlu kita sadari adalah bahwa tidak ada sesuatu hal yang mustahil dalam setiap peristiwa yang Allah s.w.t kehendaki, Dia Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Isra’[17]: 1). Di akhir potongan ayat ini, Ust. Supriyanto Pasir mempertegas bahwa Allah s.w.t menegaskan diri-Nya sebagai Dzat yang Maha Mendengar apa pun komentar orang terkait peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut. Dan Dia Maha Mngetahui siapa saja yang beriman dan tunduk pada-Nya, juga orang-orang yang ingkar kepada kebesaran-Nya. Jelaslah sudah bahwa dengan ayat ini dan peristiwa yang terjadi Allah s.w.t ingin memberikan ujian kepada kita semua terhadap kebesaran-Nya. Dengan ujian itu kita diharapkan tunduk kepada-Nya dan hukum-hukum-Nya.

Hikmah di Balik Peristiwa

Dalam setiap peristiwa yang terjadi di alam ini pastilah ada hikmahnya, walaupun itu tersembunyi dan belum diketahui banyak orang. Setidaknya dari diskusi ‘tulisan’ yang ringan dan singkat ini, masing-masing kita bisa mengambil hikmah. Hikmah apa yang pembaca dapatkan dari diskusi ini? Penulis mengutip pendapat Mutawalli asy-Sya’rawi terkait hikmah dari perjalanan agung ini, bahwa hikmah yang paling esensial dari hikmah Isra’ dan Mi’raj secara global mengandung tiga dimensi: pertama, Allah s.w.t hendak menunjukkan kepada Rasulullah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Kedua, untuk membuktikan kebesaran-Nya kepada Muhammad s.a.w. agar ia tetap kokoh melaksanakan tugas kenabiannya. Ketiga, untuk menerima tugas yang paling mulia dalam ritus ibadah dan ubudiyah seseorang muslim yang berupa shalat lima waktu, dimana merupakan media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla (asy-Sya’rawi, 1980: 135).

Hikmah-hikmah lain yang kita dapatkan adalah: pertama, sebagaimana tercermin dari ayat pertama yang dimulai dengan ‘tasbih’subhâna (Maha Suci), maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral (akhlak al-karimah) dan kesucian diri dengan berdzikir (baca: bertasbih) kepada-Nya. Ini akan berimplikasi positif dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, hal itu telah diteladankan oleh Nabi s.a.w. ketika ia sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu dengan Allah s.w.t. Padahal pertemuan dengan Allah adalah cita-cita dan tujuan umat manusia. Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, tasharrufu al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemashlahatan) (al-Nadhwi, 1998: 124)

Ketiga, amanat Rasulullah saw dari peristiwa ini adalah untuk menegakkan shalat lima waktu. Pada dasarnya shalat mengajarkan kita tentang prinsip-prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara manusia (‘abdun) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya.

Keempat, kepemimpinan dalam shalat tercermin dengan adanya seorang imam, jika shalat tersebut tidak dilaksanakan sendirian. Makmum (pengikut/ rakyat) diharuskan menegur (dengan cara tertentu) apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya. Bahkan, apabila makmum membiarkan imam melakukan kekeliruan (dengan tanpa kesengajaan) maka makmum-lah yang menanggung dosa dan kesalahannya. Pesan intinya adalah ashlih nafsaka wad’û ghairaka (perbaikilah dirimu, dan ajaklah (juga tegurlah) orang lain untuk berbuat baik).

Wallahu a’lam bi ash-shawâb.

Fathurrahman al-Katitanji

Santri Pondok Pesantren UII,

Mahasiswa Hukum Islam, dan

Anggota Komisi I DPM UII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar